Mengenal Sapta Jiwa Al Zahrah.
Di Pondok Modern Gontor, mempunyai dasar berpijak dalam menempa diri sebagai seorang santri selama hidup di asrama pesantren. Konsep ini dikenal dengan PANCA JIWA, yang juga diterapkan oleh seluruh pesantren alumni Gontor, termasuk pesantren Misbahul Ulum Kota Lhokseumawe, yang saat ini dipimpin oleh Hamdani Khalifah, mantan Direktur Al-Manar dan Darul Arafa. Panca Jiwa yang dimaksud adalah :
- Keikhlasan
- Kesederhanaan
- Ukhuwwah Islamiah
- Berdikari/Kemandirian
- Kebebasan
- Keikhlasan
- Kesederhanaan
- Berdikari/Kemandirian
- Ukhuwwah Islamiyah
- Bebas dari suam aliran/Partai
- Bertangung Jawab
- Optimis dengan cita-cita
1. Keikhlasan.
Jiwa seluruh amal perbuatan adalah ikhlas. Pekerjaan yang dilakukan akan sia-sia jika tanpa ikhlas. Amal menjadi hampa, tak bermana, tak berbekas tanpa ikhlas. Karena itu, di Pesantren Al-Zahrah, suasana keikhlasan seluruh penghuninya harus menjadi asas dalam berbuat. Santri ikhlas menerima pendidikan dan pengajaran yang diajarkan oleh seluruh guru. Guru sebagai pendidik harus ikhlas dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada santri.
Jika ada santri yang melanggar, harus menerima sanksi dengan ikhlas demi kelancaran proses pendidikan. Begitu juga Karena itu pula Pesantren Al-Zahrah, tidak boleh sembarang orang yang mengelola memimpinnya. Generasi mendatang harus mewarisi jiwa keikhlasan ini dalam memimpinnya, sehingga Al-Zahrah tetap menjadi lembaga pendidikan unggulan. Para pendiri Al-Zahrah adalah Pebisnis, namun karena jiwa keikhlasan, mereka juga memprioritaskan amal-amal mereka untuk meraih kebahagian di akhirat. Para pewaris Al-Zahrah, kelak harus melanjutkan cita-cita para pendirinya, yaitu Al-Zahrah tetap sebagai lembaga pendidikan Islan untuk menyiapkan kader-kader umat yang berkualitas.
Meskipun keikhlasan sangat penting dalam setiap pekerjaan, namun Yayasan Pendidikan Az-Zahrah sebagai yayasan yang mendirikan pesantren Al-Zahrah, tetap memberi imbalan kerja brerupa gaji bulanan bagi guru dan pegawai atas dasar profesionalitas. Walaupun dalam hal ini, yayasan masih belum mampu memberi yang lebih banyak kepada dewan guru dan pegawai, mengingat bahwa kemampuan yayasan masih terbatas. Sama-sama ikhlas, pihak yayasan ikhlas memberi imbalan sesuai kemampuan saat ini, serta dewan guru dan pegawai juga ikhlas menerimanya.
2. Kesederhanaan.
Sederhana bukanlah berarti miskin. Sikap sederhana akan mendidik seseorang untuk hidup lebih bermakna, dapat meyesuaikan diri dimana saja dia berada. Kemewahan hidup yang dipertontokan oleh sebagian manusia saat ini justru menggiringya hidup kurang nyaman, digerogoti oleh banyak penyakit, susah bergaul dan bahkan kurang dipercaya oleh masyarakat sekitarnya. Hidup mewah menimbulkan kecurigaan. Ternyata kemewahan banyak mendatangkan mala petaka.
Ajakan untuk hidup sederhana lebih cenderung untuk dihadapkan kepada orang-orang mampu secara materil finansial, mengingat gaya hidup mereka yang serba mewah. Kalangan bawah yang hidup secara pas-pasan tidak perlu diajak hidup sederhana, karena memang sudah terbiasa hidup sederhana atas ketidakmampuan memiliki barang-barang mewah. Oleh sebab itu, para santri dan guru Al-Zahrah menerapkan hidup sederhana, meski mereka berasal dari anak-anak orang mampu. Mereka, warga Al-Zahrah diajak hidup sederhana, mulai dari cara berpakaian, makan di dapur, waktu istirahat, waktu bermain dan lain sebagainya. Tujuannya agar kelak mereka menjadi teladan, contoh hidup ditengah-tengah masyarakat, walau nanti mereka sudah menjadi orang-orang mampu dan terhormat dengan segala jabatan dan status sosial. Kemewahan dunia, melahirkan kesombongan yang sangat dimurkai oleh Allah SWT.
3. Berdikari/Kemandirian.
Berdikari berarti berdiri diatas kaki sendiri. Kernandirian artinya kemampuan untuk mengurus diri sendiri dalam segala hal Manusia yang sudah mandiri berarti seorang yang mampu menjalankan hidupnya tanpa bergantung kepada orang lain, walau itu kepada orang tuanya sekalipun. Karena itulah, kedewasaan anak jauh lebih berat dan rumit daripada membesarkannya.
Pesantren Al-Zahrah mendidik anak-anak yang baru menamatkan pendidikan Sekolah Dasar, yang rata-rata berusia 13 tahun, harus bisa mengatur diri sendiri, mengatur pakaian sendiri, mencuci dan merapikannya sendiri, dan lain-lain hal yang mesti dilakukan oleh santri selama berada di asrama. Jika hal ini sudah terbiasa pada awal kehidupannya di pesantren, maka tahun-tahun berikutnya santri tidak lagi merasa sulit mengatur diri. Ini juga berarti orang tua sudah terbantu dengan sendirinya tanpa susah memikirkan keadaan putra-putrinya yang belajar di pesantren. Bahkan lebih dari itu, para santri mengurus kamar dan asrama sendiri.
4. Ukhuwwah Islamiyyah.
Dewan guru, santri dan pegawai di pesantren Al-Zahrah berasal dari berbagai suku, yaitu Aceh dll. Di Al-Zahrah tidak pernah dibedakan dari suku-suku tersebut, tidak ada perbedaan dalam pelayanan, pengawasan dan pendidikan. Mereka disatukan dalam satu wadah keimanan, persamaan hak dan kewajiban, bersatu dalam satu ikatan: Ukhuwwah Islamiyah, persaudaraan dalam satu akidah yaitu islam. Yang membedakan mereka ialah santri yang malas dan tidak mau dibina akan tinggal kelas, yang tidak kuat mengikuti peraturan pesantren atau berbuat yang tidak baik, akan di kembalikan kepada orang tuanya. Persaudaran sesama muslim adalah simbol pemersatu, pencegah perpecahan akibat fanatisme kesukuan yang berlebihan.
5. Bebas Dari Semua Aliran/Partai.
Pesantren Al-Zahrah, berdiri di atas dan untuk semua golongan. Al-Zahrah tidak melarang Pengurus Yayasan, guru dan pegawai untuk berpartai, tetapi tidak boleh memanfaatkan Al-Zahrah sebagai alat politiknya. Al-Zahrah didirikan semata-mata sebagai sarana dakwah, sarana pendidikan dan pengkaderan generasi muda yang berakhlak. Al-Zahrah berpegang teguh pada prinsip Ahli Sunnah wal Jama’ah. Mereka yag tidak digiring untuk menganut satu mazhab dan partai tertentu.
Di Al-Zahrah terdapat banyak putra-putri dari berbagai partai: PKS, PPP, PAN, PKB, PDIP, Nasdem, Golkar dll. Namun seluruh santri dan guru tidak boleh membawa simbol dari partai-partai tersebut ke dalam kampus Al-Zahrah. Di Al-Zahrah juga terdapat santri-santri yang orang tua mereka dari ormas-ormas Islam, ada yang berasal dari Al-Jam’iyyah Al-Washliayah, Muhammadiayah, Nahdhatul Ulama dan lain-lain. Santri tidak boleh dipilah berdasarkan partai atau organisasi kemasyarakatan. Keluarga besar pesantren Al-Zahrah tunduk pada Sunah, tradis pesantren Al-Zahrah yang tidak memihak ke salah satu aliran ataupun partai.
lika suatu saat, mayoritas santri terdiri dari anak-anak tokoh Al-Washliyah, maka Al-Zahrah tidak bolehmenjadi Al-Washliyah. Begitu juga suatu saat para santri dan guru terdiri dari keluarga Muhammadiyah, maka Al-Zahrah tidak boleh menjadi pesantren Muhammadiyah. Namun Al-Zahrah membuka pintu untuk setiap muslim berpartisipasi dalam menyelenggarakan dan meningkatkan kualitas santri sebagai generasi muda masa depan. Jika kelak alumni Al-Zahrah memilih menjadi tokoh partai politik dan tokoh ormas Islam, maka Al-Zahrah tidak melarang mereka untuk berkiprah kepada partai atau ormas tersebut.
6. Bertanggung Jawab.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW bersabda: artinya: setiap kamu adalah pimpinan, dan setiap pimpinan akan diminta pertanggung jawaban hasil kerjanya (HR. Bukhari dan Muslim). Majelis guru bertanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugas dan amanah yang diserahkan oleh Pimpinan Yayasan dan Direktur Pesantren, baik dalam menjalankan disiplin asrama maupun dalam menerapkan proses pendidikan.
Semua unsur, mulai dari Pimpinan Yayasan, Pimpinan Pesantren dan Majelis Guru, bertanggung jawab dalam menjalankan amanah yang diberikan oleh wali santri untuk mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang saleh. Selanjutnya semua unsur pengelola Al-Zahrah bertanggung jawab atas semua amanah yang dijalankan itu kepada Allah SWT. Pemegang amanah di Al-Zahrah memiliki kewajiban dan hak dalam melaksakan kewajibannya. Banyak orang yang menuntut hak, tetapi lalai dan mengelak dari kewajiban. Sebaliknya, banyak orang yang sudah berpeluh, banting tulang melaksanakan kewajiban, tetapi hak-haknya diabaikan.
Oleh sebab itu, perlu dilibatkan hati nurani yang bersih, ikhlas dalam berfikir untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Dalam kewajiban ada hak dan dalam hak ada kewajiban. Orang tua santri bertanggung jawab untuk mematuhi peraturan pesantren agar hak-hak anak dalam pendidikan tidak dihilangkan.
7. Optimis Dengan Cita-Cita.
Allah berfirman, artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bebar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik. (Al-Ankabut/29: 69)
Berjuang untuk mencari ke ridhaan Allah, pastikan terbuka pintu kemudahan dan petunjuk dari Allah. Dengan hidayah, semua persoalan bisa dihadapi, karena Allah selalu bersamanya. Orang yang optimis dalam meraih cita-cita, masa depan yang cemerlang, akan mendapat kemudahan untuk meraihnya. Hidup cemerlang tidak idientik dengan kemewahan harta duniawi, tetapi kebahagian, ketenangan dan kenyamanan dalam menjalankan hidup sesuai dengan sunnatullah.
Lawan dari optimis adalah pesimis. Seorang yang pesimis dalam kerja berarti ia sudah tersingkir dari alam nyata, mati sebelum ajalnya. Oleh sebab itu, setiap cita-cita yang akan diraih selalu ditempuh dengan bersusah payah, melalui perjuangan dan pengorbanan yang tak ternilai. Jadi jihad untuk mendapatkan cita-cita jika dilakukan dengan niat karena Allah, maka akan terbuka pintu kemudahan baginya, Allah akan membuka jalan keluar dari segala kesulitan. Dengan optimis, sesuatu yang berat akan dapat dipikul dengan rasa ringan, sesuatu yang jauh terasa lebih dekat, sesuatu yang terkunci rapat, akan terbuka dengan mudah. Cita-cita mulia, akan dapat diraih dengan jihad di jalan Allah.